Rokok menyehatkan? Klik info penting di banner ini:

Jumat, 17 Oktober 2008

Perjalanan di padang kembang

Siang di tahun 2005. Rakib Mappeang, pria kelahiran 10 Januari 1937 di Masamba, Luwu Utara – Sulawesi Selatan, terbujur di pembaringan Ruang ICU Rumah Sakit Kustati Surakarta. Tidak ada aktivitas pada organ jantungnya, ditandai dengan garis horizontal pada layar monitor di sebelah pembaringannya. Sontak istri, ustadz Hami Mujadid dan beberapa tetangganya memperkeras bacaan takbir dan tahlil. Suara tangis sang istri pun mulai terdengar, parau. Sejak semalam dia memang tiada putus membaca al-qu’ran, seraya memohon kesembuhan sang suami yang telah menikahinya puluhan tahun.

Seorang tetangga yang turut menjenguk ke rumah sakit segera menelpon ke rumah untuk mengabarkan perihal kematian ini. Beberapa instruksi diberikan agar para tetangga segera mempersiapkan kepulangan jenazah Bapak Rakib Mappeang, salah seorang jamaah mushola. Beliau memang aktif di kegiatan mushola, tempat tinggalnya di RT.02 RW.12 nomor 46 Mloyosuman-Baluwarti-Surakarta memang berada tidak jauh dari mushala.

Sehari sebelumnya.

Pagi itu Pak Rakib beserta istri nampak asyik mengayunkan raket tenis. Mereka bermain tidak serius, karena hanya diniatkan untuk sekedar bermain. Ini hanyalah kegiatan rutin sekali sepekan. Sekitar 20 menit kemudian mereka pun pulang.

Sesampai di rumah dia merasakan sesuatu yang lain di tubuhnya. Keringatnya keluar sangat banyak, jauh lebih banyak dibanding tadi ketika dia bermain tenis. Makanya dia memutuskan untuk segera berangkat ke RS. Dr. Muwardi Surakarta, memeriksakan diri, menggunakan kartu HI yang dimilikinya. Hanya di rumah sakit ini kartu HI-nya bisa dipergunakan.

Tak disangka, ketika dia mau masuk ke mobil, didapatinya ban mobil kempes, sehingga dia memutuskan untuk berangkat bersama istri menggunakan becak ke rumah sakit paling dekat dengan tempat tingggalnya: RS Kustati. Begitu sampai di rumah sakit, beliau langsung ke ruang ICU. Beberapa saat kemudian Pak Rakib menjalani CT Scan atas rekomendasi dr. Trisulo, dokter yang menanganinya. Sejak pemeriksaan CT Scan itu dia tidak sadarkan diri.

Setelah masuk ‘terowongan’ CT Scan, yang dia ingat sampai sekarang adalah bahwa dia mendapati dirinya sudah berada di suatu tanah lapang penuh bunga, dia menyebutnya ‘padang kembang’, suatu perkebunan penuh bunga tanpa tepi.

Dilemparkan pandangannya jauh ke depan, yang terlihat hanya bunga warna-warni tanpa tepi. Dilihatnya kanan dan kiri. Semua sama: tanaman bunga sampai di batas cakrawala, bahkan ketika dia menengok ke belakang – dengan harapan agar tahu dari mana dia bisa sampai ke sini – didapatinya juga sejauh mata memandang hanyalah bunga warna-warni. Semilir anginpun dia rasakan harum, tidak menyengat.

Dilangkahkan kakinya. Subhanallah ... ternyata yang dia injak adalah bunga, dan anehnya tidak rusak walau dia menginjaknya. Dia pun bingung kemana harus melangkahkan kaki. Saat itu tidak ada pikiran tentang istri, anak, tetangga, kawan dan harta benda yang dimilikinya. Tidak pula dia menginginkan sesuatu. Yang dirasakan hanyalah ketenangan dan kepuasan berada di padang kembang ini.

Akhirnya dia memutuskan untuk berjalan ke depan, walau tanpa tujuan.

“Bapak ... pulang ....” Kalimat ini yang menggugah pikirannya. Ah, itu suara istri saya, pikirnya. Akhirnya dia pun menghentikan langkahnya, untuk mencari tahu keberadaan istrinya. Beberapa kali kemudian dia mendengar kembali suara istrinya yang mengharap dia untuk pulang.

Dia buka matanya. Didapati istrinya menangis parau sambil memeluknya. Di kanan kirinya para tetangga sedang membacakan Surat Yasin, termasuk ustadz Hami Mujadid. Dia periksa tubuhnya, rasa sakit yang tidak terperikan menyebar dari kepala hingga ujung kaki. Akhirnya dia menyadari bahwa dia terbaring di rumah sakit, menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Ini dirasakan selama lebih dari 2 pekan. Dibutuhkan waktu 18 hari di rumah sakit tersebut hingga dia diperbolehkan pulang.

Menurut cerita istrinya, setelah menjalani CT Scan beliau tidak sadarkan diri dan dibaringkan di paviliun, ditunggui oleh istri dan beberapa saudara. Keesokan harinya ustadz Hami Mujadid dan beberapa tetangga datang untuk membaca al-quran dan memanjatkan doa. Pada saat diperdengarkan al-quran inilah pantauan denyut jantung berhenti menunjukkan aktivitas. Garis datar yang ditunjukkan layar monitor menandakan bahwa jantung sudah tidak berdenyut lagi.

Setelah jantung berhenti berdenyut, paramedis mencoba 2 kali memberi kejutan agar jantung kembali berdenyut, tapi sia-sia. Dokter kemudian menawarkan untuk menyuntikkan obat yang waktu itu harganya Rp5juta sekali suntik, untuk merangsang agar jantung mampu bekerja lagi.

Walaupun dirasa mahal, istrinya menyetujui. Hasilnya dia memang bisa sembuh. Saat ini dia merasa lebih sehat, walau harus menjaga makanan yang dikonsumsinya.

Satu hal yang dia bisa dipetik dari pengalaman ini adalah bahwa ketika seseorang sedang menghadapi sakaratul maut, hanya suara orang yang paling dekat dan dicintai yang bisa sampai ke telinga orang tersebut. Ini dia rasakan ketika dia dipanggil istrinya untuk pulang, padahal di sekitar istrinya paling tidak ada 5 orang sedang menyuarakan doa ataupun al-quran.

Hanya Allah Yang Maha Tahu.